Kamis, 30 Mei 2013

Kebebasan Agama dan perdamaian Islam Perspektif al-Qur'an

Oleh: Abied”Kancuran”  dalam kajian kitab dan tafsir JHQ 2013.

Dalam pandangan islam, keberagaman adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) demikian M quraish shihab menulis dalam wawasan Al-quran 

 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada
agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Al-quran dan terjemahan word)
Hal ini menjelaskan, bahwa mustahil bagi manusia dapat melepaskan diri dari agama. Allah menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan.

Fenomena bersejarah mengenai peristiwa perang dan kekerasan dengan membawa atribut agama, seperti di Timur Tengah, muslim rohingya, kekerasan di poso beberapa tahun yang lalu, konflik di madura, hingga beberapa ledakan bom bunuh diri yang terjadi di indonesia maupun yang baru saja terjadi di syria yang menewaskan ulama’ besar syeh romadhon albouti. Tentunya hal itu menimbun segudang pertanyaan dalam pikiran kita, apakah islam benar mengajak perdamaian? Apakah ada kebebasan beragama dalam islam ?, mari kita bahas bersama, dengan berharap selalu mendapat ridho dan ilmu manfaat dari ALLA SWT. Amien

“Assalaamualaykum” (damai atau keselamatan untuk anda), ucapan yang sangat dianjurkan pada setiap pertemuan, memahamai makna nama agama “Islam”, saya kira itu cukup mengantarkan kita bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian.

Dalam kerangka dasar perdamaian dalam islam bisa kita lihat dari salah satu ciri seorang muslim,yaitu seperti sabda Nabi Muhammad SAW;

باب المسلم : من سلم المسلمون من لسانه ويده
 “siapa yang menyelamatkan orang lain yang mendambakan kedamaian dari gangguan lidahnya dan tangannya

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ ، عَنِ الشَّعْبِيِّ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ.     صحيح البخاري
Dalam satu sisi memang benar, kekuatan agama ini selalu dipersiapkan untuk menghadapi musuh. Menurut a-quran untuk menakut-nakuti mereka.

“dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

Atas dasar inilah datang petunjuk Allah yang menyatakan
“dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Bagaimana Kerangka Kebebasan Beragam Dalam Islam?
al-Quran telah memberi perhatian yang khusus terhadap masalah kebebasan beragama tersebut, baik pada periode Makah dan Madinah. Dalam hal ini al-Quran menegaskannya dalam beberapa ayat, diantaranya.

..”dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
“tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.
[162] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.

القول في تأويل قوله : { لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ }
قال أبو جعفر: اختلف أهل التأويل في معنى ذلك.
فقال بعضهم: نزلت هذه الآية في قوم من الأنصار- أو في رجل منهم - كان لهم أولاد قد هودوهم أو نصروهم، فلما جاء الله بالإسلام أرادوا إكراههم عليه، فنهاهم الله عن ذلك، حتى يكونوا هم يختارون الدخول في الإسلام.
* ذكر من قال ذلك:
5812 - حدثنا محمد بن بشار، قال: حدثنا ابن أبي عدي، عن شعبة، عن أبي بشر، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس قال: كانت المرأة تكون مقلاتا، فتجعل على نفسها إن عاش لها ولد أن تهوده. فلما أجليت بنو النضير كان فيهم من أبناء الأنصار، فقالوا: لا ندع أبناءنا! فأنزل الله تعالى ذكره:"لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي".
.
5814 - حدثنا حميد بن مسعدة، قال: حدثنا بشر بن المفضل، قال: حدثنا داود= وحدثني يعقوب قال: حدثنا ابن علية، عن داود= عن عامر، قال: كانت المرأة من الأنصار تكون مقلاتا لا يعيش لها ولد، فتنذر إن عاش ولدها أن تجعله مع أهل الكتاب على دينهم، فجاء الإسلام وطوائف من أبناء الأنصار على دينهم، فقالوا: إنما جعلناهم على دينهم، ونحن نرى أن دينهم أفضل من ديننا! وإذ جاء الله بالإسلام فلنكرهنهم! فنزلت:"لا إكراه في الدين"، فكان فصل ما بين من اختار اليهودية والإسلام، فمن لحق بهم اختار اليهودية، ومن أقام اختار الإسلام= ولفظ الحديث لحميد.
5815 - حدثنا محمد بن عبد الأعلى، قال: حدثنا معتمر بن سليمان، قال: سمعت داود، عن عامر، بنحو معناه= إلا أنه قال: فكان فصل ما بينهم، إجلاء رسول الله صلى الله عليه وسلم بني النضير، فلحق بهم من كان يهوديا ولم يسلم منهم، وبقي من أسلم.(  جامع البيان في تأويل القرآن المؤلف : محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى : 310هـ)

Dilihat dari kronologis turunnya, ayat pertama di atas adalah tergolong ayat yang turun pada periode Makkah (Makkiyah) sedangkan ayat yang kedua adaqlah turun pada periodeMadinah (Madaniyah). Ayat pertama di atas dapat dikategorikan sebagai suatu peringatan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW supaya tidk melakukan pemaksaan dalam menjalankan misi dakwahnya. Meskipun redaksi ayat tersebut berbentuk istifham (pertanyaan), namun maksudnya adalah larangan (li al-nahyi), yakni janganlah memaksa seseorang untuk beriman. Dalam hal ini Allah mengingatkan, bahwa jika ia menghendaki, sebenarnya ia dapat memaksa seluruh umat manusia untuk memilih kepercayaan yang diyakininya.   Oleh karena itu, tidak layak bagi seseorang untuk bersikap melebihi sikap Tuhan.

Tugas para nabi dan Rasul adalah hanya menyampaikan amanat allah dan mengingatkan kaumnya untuk diajak ke jalan yang benar, tidak dapat memaksa atau mendatangkan petunjuk untuk beriman, karena tidak ada seorangpun yang beriman kecuali dengan izin Allah.
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Latar belakang turunya ayat tersebut sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah adalah berawal dari tindakan orang Islam yang memaki berhala-berhala orang kafir, sehingga merekapun melakukan reaksi yang sama dengan cara memaki Allah, maka turunlah ayat tersebut guna mencegah terjadinya hal yang serupa secara berlebihan dan berkelanjutan  sementara menurut ibn Abbas, orang kafir berkata kepada Nabi Muhammad SAW:” Hai Muhammad, berhentilah engkau memaki Tuhan Kami atau kami pun akan memakai Tuhanmu?”.

Allah melarang umat Islam memaki berhala mereka, supaya mereka tidak memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Dalam penafsiran ayat tersebut al-Zuhailiy menyatakan bahwa dilarangnya umat Islam melakukan caci-maki dan menjelek-jelekkan orang kafir adalah dalam  upaya untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, karena meskipun di balik tindakan tersebut ada suatu kemaslahatan yang diharapkan atau tujuan mengharapkan pahala, namun semua itu tidak ada artinya jika dihadapkan pada dosa yang lebih besar, yaitu mencaci-maki Allah dan kerusakan yang lebih berbahaya.  Sementara menurut al-Tahbathaba’iy, ayat tersebut secara jelas mengajarkan tentang adab dalam kehidupan beragama,
yaitu menghargai hal-hal yang dimuliakan dan disucikan umat agama lain, serta menjaga batas-batasnya jangan sampai melakukan tindakan yang dapat memperkeruh hubungan antar uman beragama, seperti berkat kasar dan mengejek agama lain. Karena sikap fanatic seseorang terhadap agamanya dan tidak rela bila ada orang lain yang melecehkannya, karena ia kan bereaksi dengan hal yang sama atau bahkan berlebihan.

 “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil”.
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.

Ayat di atas mengindikasikan bahwa perbedaan agama selayaknya tidak dijadikan sebagai alas an untuk tidak menjalin hubungan kerjasama yang harmonis . Ayat yang pertama menegaskan, Allah tidak melarang orang-orang mukmin untuk menghormati golongan lain dan berbuat baik kepada mereka.
 baik ucapan maupun perbuatan, serta berlaku adil terhadap mereka dalam memutuskan suatu perkara, selama mereka tidak memerangi uamt Islam dengan motifasi keagamaan atau mengusir umat Islam Dari negeri atau tempat tinggal mereka.

Dapat difahami bahwa kebolehan dan larangan dalam dua ayat di atas tidak bersifat muthlaq, melainkan muqayyad, yakni dibatasi dan dikaitkan dengan suatu sebab seperti membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan, serta mewujudkan kerukunan.

Secara historis, aktualisasi Dari pesan al-Quran di atas dapat dilihat dalam kehidupan Rasulullah SAW dan pada sahabatnya di Madinah. Dalam kehidupan sehari-hari Nabi SAW selalu bersikap lapanlg dada dan murah hati terhadap Ahli Kitab, baik Yahudi dan Nasrani. Adakalanya beliau mengunjungi mereka, menghormati mereka, berbuat baik serta menjenguk penderita sakit dari mereka, menerima dan memberi dengan mereka .  Perlakuan Nabi SAW tersebut tentunya diikuti pula oleh para sahabat dan menjadi teladan bagi umat Islam pada umumnya.

Berdasarkan penjelasan ayat-ayat al-Quran tentang perdamaian dan kebebasan beragama di atas, semakin jelaslah bahwa pengakuan Islam atas ajaran agama dan umat agama lain, serta menjamin kebebasan setiap insan dalam memeluk agama.

perdamaian dan kebebasan beragama yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka system teologi Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama karena ia adalah suatu keniscayaan sosial bagi seluruh umat beragama dan merupakan jalan bagi terciptanya kerukunan antar umat beragama.

Demikinlah makalah ini, semoga bermanfaat bagi semua.

Wawasan Alquran Bapak Quraish Shihab
جامع البيان في تأويل القرآن, محمد بن جرير بن يزيد بن كثير بن غالب الآملي، أبو جعفر الطبري (المتوفى : 310هـ)

^_^  ^_^               semangad Masya Allah . . .  JHQ !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar